FAEDAH
SURAT AL-FATIHAH
Surat
al-Fatihah menyimpan banyak pelajaran berharga. Surat yang hanya terdiri dari
tujuh ayat ini telah merangkum berbagai prinsip dan pedoman dalam ajaran Islam.
Sebuah surat yang harus dibaca setiap kali mengerjakan sholat. Di dalam surat
ini, Allah ta’ala memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Di dalamnya,
Allah mengajarkan kepada mereka tugas hidup mereka di dunia. Di dalamnya, Allah
mengajarkan kepada mereka untuk bergantung dan berharap kepada-Nya, cinta dan
takut kepada-Nya. Di dalamnya, Allah menunjukkan kepada mereka jalan yang akan
mengantarkan mereka menuju kebahagiaan. Berikut ini kami akan menyajikan
petikan faedah dari surat ini dengan merujuk kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta
keterangan para ulama salaf. Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat untuk
yang menyusun maupun yang membacanya.
Faedah Pertama: Kewajiban untuk mencintai Allah
Di dalam ayat ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ terkandung al-Mahabbah/kecintaan.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan,
“Di dalam ayat tersebut terkandung kecintaan, sebab Allah adalah Yang
memberikan nikmat. Sedangkan Dzat yang memberikan nikmat itu dicintai sesuai
dengan kadar nikmat yang diberikan olehnya.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah
al-Fatihah, hal. 12)
Sebagaimana kita ketahui bahwa kecintaan
merupakan penggerak utama ibadah kepada Allah ta’ala. Karena cintalah seorang
hamba mau menundukkan diri dan menaati perintah dan larangan Allah ta’ala.
Sebaliknya, karena sedikit dan lemahnya kecintaan maka ketundukan dan ketaatan
seorang hamba kepada Rabbnya pun akan semakin menipis. Syaikh Shalih al-Fauzan
mengatakan, “Setiap pemberi kenikmatan maka dia berhak dipuji sesuai dengan
kadar kenikmatan yang dia berikan. Dan hal ini melahirkan konsekuensi keharusan
untuk mencintainya. Sebab jiwa-jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai
sosok yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah jalla wa ‘ala adalah Sang
pemberi kebaikan, Sang pemberi kenikmatan dan pemberi keutamaan kepada
hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hati akan mencintai-Nya karena keutamaan dan
kebaikan-Nya, sebuah kecintaan yang tak tertandingi dengan kecintaan mana pun.
Oleh karena itu, kecintaan merupakan jenis ibadah yang paling agung. Makaalhamdulillahi Rabbil ‘alamin mengandung -ajaran- kecintaan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)
Allah
ta’ala berfirman,
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Di antara manusia, ada
orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai sesembahan tandingan. Mereka
mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Sedangkan orang-orang
yang beriman lebih dalam kecintaannya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa
barangsiapa yang mencintai selain Allah sebagaimana kecintaannya kepada Allah
ta’ala maka dia tergolong orang yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu.
Ini merupakan persekutuan dalam hal kecintaan, bukan dalam hal penciptaan
maupun rububiyah, sebab tidak ada seorang pun di antara penduduk dunia ini yang
menetapkan sekutu dalam hal rububiyah ini, berbeda dengan sekutu dalam hal
kecintaan, maka sebenarnya mayoritas penduduk dunia ini telah menjadikan selain
Allah sebagai sekutu dalam hal cinta dan pengagungan.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa
yang memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu apabila Allah
dan rasul-Nya lebih dicintainya daripa selain keduanya. Apabila dia mencintai
orang tidak lain karena kecintaannya kepada Allah. Dan dia membenci kembali ke
dalam kekafiran sebagaimana orang yang tidak senang untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)
Oleh
sebab itu jalinan kecintaan karena selain Allah akan musnah, sedangkan
kecintaan yang dibangun di atas ketaatan dan kecintaan kepada-Nya akan tetap
kekal hingga hari kemudian. Allah ta’ala berfirman,
الْأَخِلَّاءُ
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Pada hari itu orang-orang yang
saling berkasih sayang akan saling memusuhi satu dengan yang lainnya, kecuali
orang-orang yang bertakwa.” (QS.
az-Zukhruf: 67)
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan,
“Tidak tersisa selain kecintaan sesama orang-orang yang bertakwa, karena ia
dibangun di atas landasan yang benar, ia akan tetap kekal di dunia dan di
akhirat. Adapun kecintaan antara orang-orang kafir dan musyrik, maka ia akan
terputus dan berubah menjadi permusuhan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah
al-Fatihah, hal. 15)
Allah
ta’ala berfirman,
وَيَوْمَ
يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ
سَبِيلًا يَا وَيْلَتَا لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ
أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ
خَذُولًا
“Dan ingatlah pada hari kiamat
itu nanti orang yang gemar melakukan kezaliman akan menggigit kedua tangannya
dan mengatakan, ‘Aduhai alangkah baik seandainya dahulu aku mengambil jalan
mengikuti rasul itu. Aduhai sungguh celaka diriku, andai saja dulu aku tidak
menjadikan si fulan itu sebagai teman dekatku. Sungguh dia telah menyesatkanku
dari peringatan itu (al-Qur’an) setelah peringatan itu datang kepadaku.’
Dan memang syaitan itu tidak mau memberikan pertolongan kepada manusia.” (QS. al-Furqan: 27-29)
Faedah Kedua: Kewajiban untuk
berharap kepada Allah
Di dalam ayat ‘ar-Rahman ar-Rahim’ terkandung roja’/harapan. Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat tersebut
terkandung roja’.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah,
hal. 18). Harapan merupakan energi yang akan memacu seorang insan. Dengan masih
adanya harapan di dalam dirinya, maka ia akan bergerak dan melangkah, berjuang
dan berkorban. Dia akan berdoa dan terus berdoa kepada Rabbnya. Demikianlah
karakter hamba-hamba pilihan. Allah ta’ala berfirman,
أُولَئِكَ
الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Mereka itu -sosok orang salih
yang disembah oleh orang musyrik- justru mencari jalan untuk bisa mendekatkan
diri kepada Allah; siapakah di antara mereka yang lebih dekat dengan-Nya,
mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya. Sesungguhnya
siksa Rabbmu harus senantiasa ditakuti.” (QS. al-Israa’: 57)
Allah
ta’ala berfirman,
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي
سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Rabb kalian berfirman;
Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan permintaan kalian.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku maka
mereka akan masuk ke dalam Neraka dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ
الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ
أَعْطَاهُ
“Apabila salah seorang di
antara kalian berdoa maka janganlah dia mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku
jika Kamu mau’ tetapi hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam memintanya dan
memperbesar harapan, sebab Allah tidak merasa berat terhadap apa pun yang akan
diberikan oleh-Nya.” (HR.
Muslim dari Abu Hurairahradhiyallahu’anhu).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
لَمْ يَسْأَلْ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْه
“Barangsiapa yang tidak meminta
kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
dihasankan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi [3373])
Harapan
bukanlah angan-angan kosong, namun ia merupakan perbuatan hati yang mendorong
pemiliknya untuk berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencapai keinginannya.
Karena harapan itulah maka dia tetap tegar di atas keimanan, rela untuk
meninggalkan apa yang disukainya demi mendapatkan keridhaan Allah, dan dia akan
rela mengerahkan segala daya dan kekuatannya di jalan Allah ta’ala. Allah
ta’ala berfirman,
إِنَّ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ
يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang
yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 218)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya
harapan yang terpuji tidaklah ada kecuali bagi orang yang beramal dengan
ketaatan kepada Allah dan mengharapkan pahala atasnya, atau orang yang
bertaubat dari kemaksiatannya dan mengharapkan taubatnya diterima. Adapun
harapan semata yang tidak diiringi dengan amalan, maka itu adalah
ghurur/ketertipuan dan angan-angan yang tercela.” (Syarh
Tsalatsat Ushul, hal. 58)
Faedah Ketiga: Kewajiban untuk
takut kepada Allah
Di dalam ayat ‘Maaliki yaumid diin’ terkandung ajaran untuk merasa takut
kepada hukuman Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung khauf/rasa
takut.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18). Dengan adanya rasa takut inilah, seorang
hamba akan menahan diri dari melanggar aturan-aturan Allah ta’ala. Dengan
adanya rasa takut inilah, seorang hamba akan rela meninggalkan sesuatu yang
disukainya karena takut terjerumus dalam larangan dan kemurkaan-Nya. Sebab pada
hari kiamat nanti manusia akan mendapatkan balasan atas amal-amalnya di dunia.
Barangsiapa yang amalnya baik, maka baik pula balasannya Dan barangsiapa yang
amalnya buruk, maka buruk pula balasannya.
Allah
ta’ala berfirman,
وَأَمَّا
مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ
هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang yang merasa takut
kepada kedudukan Rabbnya dan menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya,
maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggalnya.” (QS. an-Nazi’at: 40-41)
Di hari kiamat nanti, semua orang akan
tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada seorang pun yang berani dan mampu
untuk menentang titah-Nya. Ketika itu langit dan bumi akan dilipat. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطْوِي
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ
الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ
ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ
أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Allah ‘azza wa jalla akan
melipat langit pada hari kiamat nanti kemudian Allah akan mengambilnya dengan
tangan kanan-Nya, lalu Allah berfirman; ‘Akulah Sang raja, di manakah
orang-orang yang bengis, di manakah orang-orang yang suka menyombongkan
dirinya.’ Kemudian Allah melipat bumi dengan tangan kirinya, kemudian Allah
berfirman; ‘Aku lah Sang Raja, di manakah orang-orang yang bengis, di manakah
orang-orang yang suka menyombongkan diri.’.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma).
Di
hari kiamat nanti, harta dan keturunan tidak ada gunanya, kecuali bagi
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Allah ta’ala
berfirman,
يَوْمَ
لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِلْغَاوِينَ
“Pada hari itu tidak berguna
harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati
yang bersih, dan surga itu akan didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa,
dan akan ditampakkanlah dengan jelas neraka itu kepada orang-orang yang sesat.” (QS. as-Syu’ara’: 88-91)
Suatu
hari ketika kegoncangan di hari itu sangatlah dahsyat, sampai-sampai seorang
ibu melalaikan bayi yang disusuinya dan setiap janin akan gugur dari kandungan
ibunya. Allah ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ
يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ
حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ
اللَّهِ شَدِيدٌ
“Hai umat manusia, bertakwalah
kepada Rabb kalian, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah kejadian
yang sangat besar. Ingatlah, pada hari itu ketika kamu melihatnya, setiap ibu
yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap
perempuan yang hamil akan mengalami keguguran kandungannya, dan kamu melihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal sesuangguhnya mereka tidak sedang mabuk,
namun ketika itu adzab Allah sangatlah keras.” (QS. al-Hajj: 1-2)
Khauf
kepada Allah semata merupakan bukti jujurnya keimanan seorang hamba. Allah
ta’ala berfirman,
إِنَّمَا
ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya itu hanyalah
syaitan yang menakut-nakuti para walinya, maka janganlah kalian takut
kepada mereka, akan tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalin benar-benar beriman.” (QS. Ali Imran: 175)
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan,
“Apabila ketiga perkara ini terkumpul: cinta, harap, dan takut, maka itulah
asas tegaknya aqidah.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah
al-Fatihah, hal. 18).
Ketiga hal di atas -mahabbah, raja’ dan khauf- merupakan pondasi
aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu para ulama kita mengatakan,
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja maka dia adalah
seorang Zindiq. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan rasa takut semata,
maka dia adalah seorang Haruri/penganut aliran Khawarij. Dan barangsiapa yang
beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata, maka dia adalah seorang
Murji’ah. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan cinta, takut, dan harap
maka dia adalah seorang mukmin muwahhid.” (Syarh Aqidah at-Thahawiyah tahqiq Ahmad Syakir [2/275]
as-Syamilah).
Faedah Keempat: Kewajiban untuk
mentauhidkan Allah
Di dalam ayat ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in’ terkandung
ajaran untuk mentauhidkan Allah ta’ala. Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan kandungan ayat ini,
“Maknanya adalah: Kami mengkhususkan ibadah dan isti’anah hanya untuk-Mu…” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/28]). Inilah hakikat ajaran Islam
yaitu mempersembahkan segala bentuk ibadah kepada Allah semata. Karena tujuan
itulah Allah menciptakan jin dan manusia. Untuk mendakwahkan itulah Allah
mengutus para nabi dan rasul kepada umat manusia. Dengan ibadah yang ikhlas
itulah seorang hamba akan bisa menjadi sosok yang bertakwa dan mulia di
sisi-Nya. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Allah
ta’ala berfirman,
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tidaklah Kami mengutus sebelum
seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan
yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)
Allah
ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai umat manusia, sembahlah
Rabb kalian, yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum
kalian, mudah-mudahan kalian menjadi bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21)
Allah
ta’ala berfirman,
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)
Maka
barangsiapa yang menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah sungguh
dia telah terjerumus dalam kemusyrikan. Sebagaimana kita meyakini bahwa Allah
satu-satunya yang menciptakan alam semesta ini, yang menghidupkan dan
mematikan, yang menguasai dan mengatur alam ini, maka sudah seharusnya kita pun
menujukan segala bentuk ibadah kita yang dibangun di atas rasa cinta, harap,
dan takut itu hanya kepada Allah semata.
Faedah Kelima: Kewajiban untuk
bertawakal kepada-Nya
Hal ini terkandung di dalam potongan ayat ‘wa iyyaka nasta’in’.
Karena kita meyakini bahwa tidak ada yang menguasai kemanfaatan dan
kemadharatan kecuali Allah, tidak ada yang mengatur segala sesuatu kecuali Dia,
maka semestinya kita pun bergantung dan berharap hanya kepada-Nya. Kita tidak
boleh meminta pertolongan dalam perkara-perkara yang hanya dikuasai oleh Allah
kepada selain-Nya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
يَا
غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ
تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ
بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ
لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى
أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
“Hai anak muda, aku akan
mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Jagalah Allah, niscaya Allah akan
menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan menemukan-Nya di hadapanmu. Apabila
kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Apabila kamu meminta pertolongan maka
mintalah pertolongan kepada Allah. Ketauhilah, seandainya seluruh manusia
bersatu padu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu maka mereka tidak akan
memberikan manfaat itu kepadamu kecuali sebatas apa yang Allah tetapkan
untukmu. Dan seandainya mereka bersatu padu untuk memudharatkan dirimu dengan
sesuatu maka mereka tidak akan bisa menimpakan mudharat itu kecuali sebatas apa
yang Allah tetapkan menimpamu. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah
mengering.” (HR.
Tirmidzi, dia berkata; hasan sahih, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan
at-Tirmidzi [2516])
Allah
ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah maka Allah akan berikan baginya jalan keluar dan akan memberikan
rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang
bertawakal kepada Allah maka Allah pasti mencukupinya.” (QS. at-Thalaq: 2-3)
Orang-orang
yang beriman adalah orang yang bertawakal kepada Allah semata. Allah ta’ala
berfirman,
وَعَلَى
اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hanya kepada Allah sajalah
hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. al-Maa’idah: 23)
Apabila
disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Allah ta’ala juga
berfirman,
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ
عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِينَ
يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ
حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka hati
mereka menjadi takut/bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada
Rabb mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian
rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang
sejati, mereka akan mendapatkan derajat yang berlainan di sisi Rabb mereka dan
ampunan serta rezeki yang mulia.” (QS.
al-Anfal: 2-4)
Dengan
mengingat Allah maka hati mereka menjadi tenang. Allah ta’ala berfirman,
أَلَا
بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, dengan mengingat
Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)
Berbeda
halnya dengan orang yang bergantung dan berharap kepada selain Allah. Hati
mereka tenang dan gembira ketika mengingat sesembahan dan pujaan selain Allah
ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
وَإِذَا
ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ
وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Apabila disebut nama Allah
saja maka akan menjadi kesal hati orang-orang yang tidak beriman dengan hari
akhirat itu, sedangkan apabila disebut selain-Nya maka mereka pun tiba-tiba
merasa bergembira.” (QS.
az-Zumar: 45)
Karena tawakal pula seorang hamba akan
bisa masuk ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ
وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Akan masuk surga tujuh puluh
ribu orang di antara umatku tanpa hisab, mereka itu adalah orang-orang yang
tidak meminta diruqyah, tidak mempunyai anggapan sial/tathayyur, dan hanya
bertawakal kepada Rabb mereka.” (HR.
Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma)
Hal ini terkandung dalam ayat ‘Ihdinas shirathal mustaqim’.
Hidayah merupakan anugerah dari Allah ta’ala kepada hamba yang dipilih-Nya.
Sedangkan hidayah itu terdiri dari dua macam; hidayah ilmu dan hidayah amal.
Dan hidayah semacam itu dibutuhkan oleh manusia di setiap saat dalam perjalanan
hidupnya. Setiap hamba senantiasa membutuhkan hidayah tersebut selama dia masih
hidup di alam dunia ini. Oleh karena besarnya kebutuhan setiap hamba untuk
memohon hidayah maka Allah pun mewajibkan mereka memintanya dalam sehari dan
semalam minimal tujuh belas kali di dalam sholat.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “…Seandainya bukan karena
besarnya kebutuhan dirinya untuk mendapatkan hidayah di waktu malam maupun
siang niscaya Allah ta’ala tidak akan membimbingnya untuk melakukan hal itu
-meminta hidayah setiap kali sholat-. Sebab seorang hamba itu sesungguhnya di
setiap saat dan keadaan senantiasa memerlukan pertolongan dari Allah untuk bisa
tegar mengikuti hidayah dan berpijak dengan kokoh padanya, agar terus mendapatkan
pencerahan, peningkatan ilmu, dan bisa terus menerus berada di atasnya. Karena
setiap hamba tidaklah menguasai kemanfaatan maupun kemudharatan bagi dirinya
sendiri kecuali sebatas yang Allah kehendaki. Oleh sebab itulah maka Allah
ta’ala membimbingnya untuk senantiasa meminta hidayah itu di setiap saat agar
Allah mencurahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan tafik dari-Nya.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/39])
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan,
“Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan
petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang akan
keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai keberhasilan
dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada
kebutuhan dirinya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman
hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk
menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa
ini juga mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang
telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan
petunjuk.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Segala
puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kita ke jalan Islam. Sebab dengan
Islam inilah seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga. Allah ta’ala
berfirman mengenai kegembiraan penduduk surga,
وَقَالُوا
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ
هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
“Mereka mengatakan; ‘Segala
puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kami ke surga ini. Kami
tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak memberikan petunjuk kepada
kami. Sesungguhnya rasul-rasul Rabb kami telah datang dengan membawa
kebenaran.’.” (QS.
al-A’raaf: 43)
Allah
ta’ala berfirman,
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ
الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ
مِنْ نَاصِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
kafir dan mati dalam keadaan kafir maka tidak akan pernah diterima dari mereka
emas sepenuh bumi walaupun hal itu mereka gunakan untuk menebus siksa, mereka
itu memang layak untuk menerima siksa yang sangat menyakitkan dan tidak ada
bagi mereka seorang penolongpun.” (QS. Ali
Imran: 91)
Allah
juga berfirman,
إِنَّهُ
ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya barangsiapa yang
mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan surga baginya dan tempat
kembalinya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada seorang
penolong.” (QS. al-Maa’idah: 72)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ
“Tidak akan masuk ke dalam
surga melainkan jiwa yang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairahradhiyallahu’anhu)
Dalam
riwayat lainnya, beliau bersabda,
لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ
“Tidak akan masuk surga selain
orang-orang yang beriman.” (HR.
Muslim dari Umar bin Khatthabradhiyallahu’anhu)
Hidayah
juga bukan yang perkara sepele, namun dia adalah anugerah Allah kepada hamba
pilihan-Nya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya engkau tidak akan
bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi
Allah lah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan
Dia lebih mengetahui siapakah orang yang ditakdirkan mendapatkan hidayah.” (QS. al-Qashash: 56)
al-Musayyab radhiyallahu’anhu menuturkan,
لَمَّا
حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ
الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ
قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ
أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ
عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو
طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ
يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Di saat kematian akan
menghampiri Abu Thalib maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang
untuk menemuinya dan ternyata di sisinya telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi
Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata;
‘Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang akan aku
gunakan untuk bersaksi untukmu di sisi Allah’. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin
Abi Umayyah mengatakan; ‘Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada agama Abdul
Muthallib -bapakmu-?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus
menawarkan dan mengulangi ajakannya itu, sampai akhirnya Abu Thalib mengucapkan
perkataan terakhirnya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul
Muthallib. Dia enggan untuk mengucapkan la ilaha illallah…” (HR. Muslim)
Faedah Ketujuh: Kewajiban untuk
mengikuti Rasul dan para sahabatnya
Hal itu terkandung dalam ayat ‘Shirathalladzina an’amta
‘alaihim’. Jalan orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari
Allah, yaitu jalan para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’ dan orang-orang
salih. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ
رَفِيقًا
“Barangsiapa yang taat kepada
Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan
orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, orang-orang shiddiq,
syuhada’, dan orang-orang salih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)
Allah
ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang
Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia juga mengikuti selain jalan
orang-orang beriman maka Kami akan membiarkan dia terlantar di atas kesesatan
yang dipilihnya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan
sesungguhnya Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.”(QS. an-Nisaa’: 115)
Allah
ta’ala berfirman,
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ
لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidaklah pantas bagi seorang
mukmin lelaki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lainnya dalam
menghadapi masalah mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya
maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ
أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ
يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk surga
kecuali yang enggan.” Maka para sahabat bertanya, ‘Siapakah orang yang enggan
itu wahai Rasulullah?’. beliau menjawab, “Barangsiapa yang menaatiku akan masuk
surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku dialah yang enggan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan,
فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barangsiapa di
antara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk tetap mengikuti
Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang berada di atas petunjuk dan
terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham
kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan -di dalam agama-, karena
sesungguhnya setiap yang diada-adakan -dalam agama- itu adalah bid’ah dan
setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu
Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu,
disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib [37])
Inilah jalan lurus itu, yaitu mengikuti
pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu maupun amalan. Allah
ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu dan
pertama-tama -membela Islam- dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka
dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang
di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya,
itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Faedah Kedelapan: Kewajiban
untuk mengamalkan ilmu
Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘Ghairil maghdhubi ‘alaihim’. Orang yang dimurkai itu adalah orang
yang mengetahui kebenaran tapi justru tidak mau mengamalkannya. Sebagaimana
orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka. Syaikh Abdurrahman bin Naashir
as-Sa’di rahimahullah berkata,
“(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan
mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu
adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman,
hal. 39). Sehingga jalan yang lurus itu menuntut seorang muslim untuk
mengamalkan ilmunya.
Syaikh Abdul Muhsin mengatakan, “Petunjuk
menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan orang-orang yang
diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan
orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang yang memadukan ilmu dengan
amal. Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah
menuju jalan lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para
rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari
jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak
mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata,
“Hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzahradhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” (HR. Tirmidzi 2341)
“Hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzahradhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” (HR. Tirmidzi 2341)
Hal ini bukan berlaku bagi para ulama
saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang
mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah.
Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah
Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang
dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya
itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan
apa yang didengarnya tersebut. Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa
al-Asy’ariradhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْقُرْآنُ
حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“al-Qur’an itu adalah hujjah
bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul,
hal. 18)
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari
ilmu. Ilmu itu ada dalam rangka mencapai sesuatu yang lainnya. Ilmu diibaratkan
seperti sebuah pohon, sedangkan amalan adalah seperti buahnya. Maka setelah
mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab
orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya
daripada orang bodoh. Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras
siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan
sebab ilmunya.” Orang
semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai
bahan bakar pertama-tama nyala api neraka. Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,
Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala
(Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala
(Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya ketika
membahas firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta dan
rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan
memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. at-Taubah: 34) menukilkan ucapan
Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang rusak di antara orang
berilmu di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan
orang-orang yang rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya
terdapat keserupaan dengan Nasrani.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Faedah Kesembilan: Kewajiban
untuk beribadah di atas ilmu
Hal
ini terkandung dalam potongan ayat ‘wa lad dhaallin’. Orang-orang yang sesat
itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah namun dengan cara
yang tidak benar, sebagaimana kaum Nasrani. Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Ketahuilah bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah, dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu.”(QS. Muhammad: 19)
Ilmu merupakan landasan ucapan dan
perbuatan. Oleh sebab itu Imam Bukhari rahimahullah membuat
sebuah bab di dalam Kitab Shahihnya dengan judul al-’Ilmu qablal qaul wal ‘amal (Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan).
Allah ta’ala berfirman,
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti
apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, itu semua pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangisapa ang dikehendaki
baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya seluruh
sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an maka itu
semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan
oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 128). Beliau juga
menegaskan, “Tidaklah diragukan bahwa sesungguhnya kebodohan adalah pokok
seluruh kerusakan. Semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat
maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu,
hal. 101)
Syaikh Muhammad al-Amin as-Syinqithi
mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53),
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan
sama-sama dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi
-meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah
mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan
kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada mereka.
Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui
kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol.
Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya
ta’ala tentang mereka (yang artinya), “Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas
kemurkaan.” (QS.
al-Baqarah: 90). Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka (yang artinya), “Katakanlah; maukah aku
kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang balasannya lebih jelek di
sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 60). Begitu pula
firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi itu sebagai
sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. al-A’raaf: 152). Sedangkan
golongan ‘adh dhaalliin’ telah
Allah jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala
(yang artinya), “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah
tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah
tersesat dari jalan yang lurus.” (QS.
al-Ma’idah: 77)”
Semoga tulisan yang ringkas ini
bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta,
Senin 9 Jumadil Ula 1430 H
Hamba
yang fakir kepada Rabbnya
Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya
dan segenap kaum muslimin .
Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya
dan segenap kaum muslimin .